Bu Puspa didiagnosa kanker payudara jenis adenocarcinoma mammae tahun 2013. Ia tak mau mengambil opsi kemo dan operasi dan memutuskan untuk mengambil alternatif pakai alat ECCT tanpa operasi, meskipun ECCT saat itu masih sama sekali baru. Ia menjalaninya dengan sangat hati-hati dan ketekunan, sambil terus memantau dengan teliti perkembangan terapinya. Ia mencapai remisi setelah 3 tahun pakai alat. Tetapi benjolan muncul lagi selama pandemi setelah vaksin.
Akhir 2013 Bu Puspa merasakan adanya benjolan di payudaranya sebelah kanan kurang lebih sebesar bola pingpong. Hasil USG menunjukkan ukuran sekitar 3 cm. Hasil biopsi menunjukkan tipe adenocarcinoma mamae, tipe dengan tingkat keganasan tinggi. Selain benjolan ganas di payudara kanan, ada juga benjolan kista di payudara sebelah kiri, ukurannya relatif kecil masih di bawah 1 cm. Sesuai prosedur medis, dokternya menganjurkan untuk operasi dan kemo.
Tetapi Bu Puspa tidak mau menjalani kemo dan operasi. Ia bersikeras untuk memakai alat ECCT saja, dengan harapan bisa tanpa operasi atau kemo. Keputusan yang berani, mengingat ECCT saat itu masih sangat baru. Tetapi bisa mengatasi kanker payudara tanpa operasi adalah sesuatu yang luar biasa bagi seorang wanita yang sedang berhadapan dengan penyakit ini.
Ia kemudian mendapatkan alat ECCT berupa rompi dan alat kecil untuk menutupi bagian ketiak, fungsinya untuk mencegah penyebaran ke ketiak. Bu Puspa memakai alat ECCT itu sejak awal Desember 2013, 12 jam sehari, 5 hari dalam seminggu. Ia hampir tak pernah absen, mengikuti jadwal pakai alat di mana pun ia sedang berada.
Proses terapi yang dijalani Bu Puspa relatif berjalan dengan lancar. Ia mengalami reaksi pembuangan yang umum sebagaimana pengguna ECCT lain, yaitu keringat dan buang air kecil yang bau menyengat seperti obat, serta buang air besar yang gelap dan bau menyengat. Reaksi pembuangan seperti itu terjadi hingga beberapa bulan.
Secara tipe kanker berdasarkan respon terhadap ECCT, jenis yang dialami oleh Bu Puspa ada jenis yang bisa meluruh, termasuk Grup B, sehingga reaksi pembuangan relatif lancar, progres yang dialaminya juga relatif cepat.
Tipe kanker Grup B adalah tipe kanker yang mudah meluruh dengan paparan medan listrik, sel-sel matinya relatif lunak dan cair sehingga mudah terbuang melalui keringat, urin, dan feses. Tipe ini secara medis adalah tipe agresif, tetapi respon terhadap terapi listrik lebih cepat, dan karkater sel matinya yang relatif cair jadi mudah terbuang, progres penyusutan massa kanker relatif cepat.
Dengan spesifikasi alat ECCT lama massa dengan ukuran 2-3 cm umumnya meluruh dalam waktu 2-3 tahun untuk bisa mencapai bersih tanpa operasi. Tipe yang sama dengan spesifikasi alat ECCT terbaru proses peluruhan massa bisa jauh lebih cepat menjadi 3-6 bulan untuk ukuran massa yang sama.
Proses pengecilan ukuran massa kanker untuk kasus kanker payudara selain tergantung pada jenis kankernya, juga tergantung saluran pembuangan dari posisi di mana massa berada melalui jaringan pembuluh darah balik menuju kanal pembuangan utama seperti keringat, urin dan feses.
Untuk kasus kanker payudara jalur pembuangan melalui pembuluh darah balik relatif sedikit dan kecil, sel mati harus mengalir naik melawan grafitasi ke arah pembuluh darah ke arah ketiak dan dada atas (clavicula) sebelum masuk ke pembuluh darah balik vena cava dan ke jantung. Karenanya apabila sel mati tak begitu cair, sel-sel mati mudah menumpuk di area posisi massa, menyebabkan peradangan.
Beruntungnya kasus untuk kasus yang dialami oleh Bu Puspa posisi massanya berada pada area pinggir (lateral) yang dilewati oleh pembuluh darah balik yang relatif baik ke arah ketiak. Di samping itu juga tipe sel matinya relatif cair, sehingga pembuangan relatif mudah dibanding apabila posisi massa berada pada area tengah (medial).
Bu Puspa melakukan USG setiap 3 bulan untuk mengetahui perkembangan terapinya. Ia khawatir progres terapi yang ia jalani menggunakan ECCT yang masih baru tak berjalan sesuai harapan besarnya. Keputusan yang ia ambil termasuk sangat berani, tetapi baginya sangat menantang karena tanpa operasi benjolan bisa hilang.
Bersyukur dari hasil USG setiap 3 bulan menunjukkan ukuran massa tumor yang mengecil perlahan. Awalnya ukuran hampir 3 cm, kemudian berkurang menjadi 2.3 cm dalam waktu 1 tahun, dan berkurang lagi menjadi 1.2 cm dalam 1.5 tahun. Akan tetapi ketika proses terapinya mencapai 1.5 tahun ia merasakan dari perabaan bahwa benjolan yang tadinya besar seperti pecah menjadi benjolan kecil-kecil, sebagian berpindah ke arah ketiak, sebagian lagi berada di area dekat puting. Fenomena seperti ini tak terjadi pada proses terapi secara medis dengan kemo, sehingga cukup membuat bingung dokter radiologi yang memeriksanya. Dokternya cenderung menilai bahwa hal itu adalah proses penyebaran.
Akan tetapi kalau dianggap penyebaran, besar massa awal menjadi lebih kecil, dan karakter massa dalam gambar USG mirip dengan jaringan sekitar (isoechoic), sehingga sulit disimpulkan sebagai penyebaran kalau dilihat dengan kacamata radiologi konvensional.
Secara proses terapi ECCT yang berdasarkan kaedah fisika hal itu adalah normal. Secara alami sel mati yang hancur menjadi cair tetapi sebenarnya agak kental menyerupai lendirĀ mengalir melalui pembuluh darah secara lambat ke atas ke bagian ketiak. Dalam prosesnya akan terjadi pengendapan atau penumpukan lendir dari sel-sel mati membentuk gumpalan yang dalam gambar USG terlihat seperti nodul (benjolan) baru.
Karena khawatir, Bu Puspa kemudian melakukan PET-Scan untuk memastikan sejauh mana penjelasan secara fisika yang ia dapatkan bisa diterima, karena hal itu berbeda dengan penjelasan yang ia dapatkan dari dokter radiologinya.
Hasil PET scan menunjukkan ukuran massa yang masih aktif relatif mengecil menjadi 1 cm dari ukuran awal 3 cm, sedangan benjolan kecil-kecil di sekitar benjolan awal yang mengecil tak nampak ada aktifitas, sehingga bisa disimpulkan bahwa benjolan kecil-kecil baru yang sebelumnya tak terlihat adalah sel-sel mati yang masih menumpuk sesuai dengan penjelasan secara fisika yang ia dapatkan dari Dr. Warsito.
Ia menjadi tenang dan terus melanjutkan terapi ECCT. Hanya dari hasil PET-CT diketahui bahwa selain benjolan aktif di payudaranya sebelah kanan, ada juga benjaktif yang aktif di bagian tiroid, dan juga miom di rahim sebesar 4-5 cm, serta kista di livernya. Penyakit yang ia derita seolah-olah lengkap sudah.
Ia kemudian melakukan operasi pengangkatan rahim, sedangkan untuk tiroid ia mendapatkan cover tambahan dengan alat ECCT. Ia tetap tak mau menjalani prosedur medis untuk mengatasi tiroidnya yang diduga juga ganas. Perkembangan yang ia dapatkan terkait kanker di payudaranya membuatnya semakin yakin dengan teknologi baru ini.
Setelah 2 tahun pemakaian massa di payudaranya lebih mengecil lagi menjadi di bawah 1 cm, dan setelah 3 tahun mnjadi tak teraba dan tak terdeteksi lagi dengan USG. Kista yang tadinya ada di payudara sebelah kiri juga sudah tak terdeteksi. Tetapu beberapa kali setelahnya hasil USG kadang-kadang masih terdeteksi benjolan kecil ukuran mili atau kista. Kemungkinan karena USG sebelum tak cukul teliti mendeteksinya. Setelah 5 tahun pemakaian ia benar-benar terbebas dari kanker payudara. Tiroidnya juga tak teraba lagi ada benjolan.
Setelah bersih Bu Puspa masih terus memakai aat ECCT untuk preventif serta rutin melakukan USG dan check alat. Hanya selama masa pendemi ia tak melakukan pemeriksaan dengan USG maupun check alat. Hingga akhirnya pada pertengahan 2022 setelah beberapa kali menjalani vaksin ia mulai merasakan kembali benjolan pada posisi dan ukuran yang hampir sama dengan benjolan awal yang ia alami 9 tahun sebelumnya sebelum melakukan terapi ECCT.
Hasil USG mengkonfirmasi benjolan di dalam payudaranya sebelah kanan, pada posisi benjolan lama. Tetapi secara tekstur benjolan sifatnya agak berbeda, tak berbentuk bulat seperti benjolan awal, dan dari hasil USG secara color doppler tak nampak adanya vaskularisasi (aliran darah), kemungkinan benjolan yang tak aktif, diduga fibroglandular dengan komponen kalsifikasi.
Bagaimana mungkn ada benjolan baru tetapi tak aktif dengan ukuran cukup besar (3 cm)?
Dr. Warsito menjelaskan bahwa dalam proses terapi ECCT jaringan sel-sel kanker yang berbentuk benjolan mengalami luruh, tetapi itu hanya terjadi pada sel-sel ganasnya saja, di antara sel-sel ganas ada jaringan matrik penyangga tumor yang pada dasarnya adalah sel-sel normal. Sel-sel normal yang manjadi jaringan penyangga tumor ini tak terpengaruh oleh terapi ECCT. Akibatnya jaringan bekas tumor ini tetap ada pada posisi semula, namun tak kembali menjadi jaringan payudara normal, lebih berbentuk jaringan keloid (fibrosis) seperti bekas luka.
Efek dari jaringan fibrosis bekas tumor, karena jaringan yang ada sudah dirusak oleh sel-sel ganas awalnya, pada jaringan bekas tumor banyak pembuluh darah yang rusak dan tak kembali seperti jaringan awal. Pada area ini aliran darah tak bisa lancar seperti jaringan awal sebelum terinfeksi oleh tumor. Akibatnya apabila ada sampah di dalam aliran darah mudah terjadi pengendapan di area ini. Zat vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh juga sangat mungkin mengendap pada area ini yang aliran darahnya tak lancar membentuk seperti benjolan baru.
Untuk antisipasi muncul keganasan baru, Bu Puspa kemudian mendapatkan alat terbaru berupa selimut dan program alat terbaru yang memberikan modulasi gelombang untuk mematikan sel ganas dan sekaligus membantu membuang sel-sel mati yang mengendap di pembuluh darah.
Setelah pemakaian 3 bulan alat terbaru Bu Puspa mulai merasakan benjolannya semakin pudar dan menipis. Sekali lagi ia bisa memahami logika fisika dalam penjelasan mengenai penyakit yang dialaminya.
Melewati 10 tahun sejak didiagnosa kanker kondisi Bu Puspa sangat sehat dan aktif. Ia hampir tak pernah merasakan sakit atau berat selama menghadapi penyakitnya dan proses terapinya. Semoga tetap sehat buat Bu Puspa (WS).