Kanker paru-paru masih menjadi salah satu jenis kanker yang paling mematikan, untuk stadium lanjut seperti yang dialami oleh Pak Abdulmalik 80% lebih tak bisa bertahan lebih dari 5 tahun, rata-rata hanya bisa bertahan selama 2.5 tahun. Tak banyak alternatif pengobatan yang bisa dilakukan, ia disarankan untuk memakai ECCT. Dokternya adalah dokter pertama yang menerima ECCT. Pak Abdulmalik adalah orang pertama yang pakai ECCT untuk kasus kanker paru-paru yang telah melewati lebih dari 10 tahun.
Awalnya Pak Abdulmalik mengalami batuk berdarah, terjadi di akhir Oktober, 2011. Karen tak kunjung berhenti akhirnya kemudian memeriksakan dirinya ke dokter spesialis paru-paru di sebuah rumah sakit besar di Semarang.
Dari hasil CT scan ada kecurigaan kuat kanker paru-paru. Hasil CT scan menunjukkan adanya nodul sebesar 2.8X2.4 cm dengan kalsifikasi di dalamnya yang menunjukkan aktifitas keganasan, disertai kemungkinan penyebaran berupa infiltrat di sekitarnya.
Ia diberi obat untuk minum, dan disarankan untuk melakukan CT scan lagi setelah 1 bulan. Dari hasil CT scan setelah minum obat sebulan massa membesar dari 2.8X2.4 cm menjadi 4.4X4.2 cm. Ditambah penyebaran berupa infiltrat di sekitar massa dan kelenjar getah bening di sekitar saluran nafas (trakea), yang membuatnya semakin sesak. Secara stadium masuk kategori 3-4, diduga tipe adenokarsinoma.
Dokternya tak menganjurkannya melakukan kemo. Dokternya mengatakan bahwa kemo tak akan banyak membantu, sementara efeknya berat dan biayanya juga berat. Tetapi dokternya terus berupaya untuk mencarikan solusi buat Pak Abdulmalik.
Awal tahun 2012, polemik terkait ECCT sedang sangat ramai-ramainya. Warsito mengembangkan teknologi ini awalnya untuk mencarikan solusi pengganti kemo buat kakak kandungnya, Ibu Suwarni (saat itu usia 50 tahun) yang terkena kanker payudara stadium 4 tahun 2010. Ibu Suwarni melakukan operasi, tetapi tak melakukan kemo, sebagai gantinya ia menggunakan alat ECCT. Bu Suwarni mencapai remisi dalam waktu 2 bulan, dan hidup normal hingga sekarang terbebas dari kanker.
Dalam suasana kontroversi yang panas tentang ECCT pada awal tahun 2012, dokter Pak Abdulmalik menjadi dokter pertama yang menerima ECCT. Ia menganjurkan Pak Abdulmalik menggunakan alat ECCT sebagai pengganti kemo.
Pak Abdulmalik mengikuti saran dokternya untuk memakai ECCT. Sebelum pakai ia menandatangi informed consent, karena alat masih dalam pengembangan. Pak Abdulmalik adalah pengguna pertama untuk kasus kanker paru-paru. Selain pakai alat ia juga dikasih obat minum (kemo oral).
Awal pakai alat dahaknya bertambah, tetapi batuk bercampur darah yang keluar berkurang. Kurang lebih satu bulan darah relatif sudah berhenti.
Hasil CT scan setelah pemakaian alat satu bulan (Maret 2012) menunjukkan massa yang menyusut signifikan, dari 4 cm pada bulan Desember 2011 menjadi 2 cm. Dari segi bentuk jaringan massa juga sudah tidak sepadat pada waktu awal, lebih menyerupai titik-titik yang sisa seperti bekas benda padat yang meluruh (mencair).
Proses matinya massa kanker tipe adenokarsinoma akibat pemakaian alat ECCT lebih menyerupai benda padat seperti batu es yang mencair. Proses penyusutan massa tumor terjadi karen sel-sel mati yang mencair mengalir ke jaringan sekitar keluar dalam bentuk ekskresi tubuh seperti dahak, keringat, urin dan pup. Berbeda dengan proses menyusutnya massa tumor akibat kemo, di mana pada proses kemo seringkali menyusutnya massa tumor disebabkan oleh berhentinya peradangan, pembengkakan berhenti akibat obat kemo menekan respon imun, bukan karena sel-sel tumor yang mati dengan meluruh.
Tetapi tidak semua jenis adenokarsinoma sama. Proses peluruhan (lisis) massa tumor seperti di atas hanya terjadi pada tipe adenokarsinoma dengan diferensiasi buruk (diffuse atau poorly differentiated), atau berdiferensiasi sedang (moderately differentiated). Untuk tipe adenokarsinoma dengan tingkat diferensiasi baik (well differentiated), sel-sel tumor yang mati banyak mengandung lemak/kolesterol, akibatnya sel-sel mati tak mudah terbuang, mengendap di sekitar massa tumor awal selama 3-4 bulan awal, sehingga pada masa 3-6 bulan awal secara volume massa umumnya justeru membesar. Untuk tipe ini akan lebih baik dilakukan direseksi apabila memungkinkan. Alat ECCT bisa digunakan untuk membersihkan sisa yang ada setelah operasi.
Pada kasus Pak Abdulmalik dari hasil CT scan penyusutan massa masih terjadi pada bulan-bulan berikutnya, tetapi relatif lebih lambat. Hasil CT scan setiap 3 bulan berikutnya massa relatif sudah tak berubah. Hasil CT scan setelah pemakaian 1 tahun pun relatif sudah tak berubah.
Kondisi umum Pak Abdulmalik juga terus membaik seiring dengan pemakaian alat. Setelah batuk berdarah berhenti, nafasnya juga menjadi lega, keluhan lain relatif tak ada. Setelah satu tahun sejak pemakaian pertama alat ECCT kondisinya semuanya kelihatan normal, tak nampak ada tanda-tanda pernah sakit, apalagi kanker paru-paru. Hasil CT scan setelah 3 tahun pemakaian, di area bekas massa tersisa jaringan parut, semacam bekas luka yang sembuh. Kematian sel kanker dan perbaikan jaringan yang rusak terjadi secara alami pada terapi dengan ECCT.
Kanker paru-paru masih menjadi salah satu jenis kanker yang tingkat kematiannya paling tinggi. Terlebih lagi tipe diffuse seperti yang dialami oleh Pak Abdulmalik. Secara statistik tingkat survival setelah 5 tahun untuk stadium lanjut di bawah 10-15%, artinya 80% lebih kemungkinan tak bisa bertahan lebih dari 5 tahun, rata-rata hanya bisa bertahan selama 2.5 tahun.
Kondisi umum Pak Abdulmalik sangat berbeda dengan para penderita kanker paru-paru secara umum. Ia terus memakai alat ECCT untuk preventif, selain itu alat ini juga membantu melancarkan peredaran darah ke seluruh tubuh, sehingga menjaga metabolisme sel dan organ tetap baik. Melewati 10 tahun sejak pertama kali pakai ECCT tubuh Pak Abdulmalik bahkan terlihat sangat kekar di usianya yang telah melewati 60 tahun. Ia kelihatan jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Selain mematikan sel kanker ada kemungkinan ECCT juga meremajakan sel-sel normal.
Semoga tetap sehat buat Bapak Abdulmalik.