Perjuangan anak umur 4 tahun melawan kanker otak dalam kondisi keterbatasan ekonomi keluarga, melewati 10 tahun dengan ECCT, tanpa operasi, tanpa kemo.
***
Aku melihatnya sebagai anak perempuan berusia 2 tahun ketika pertama kali berjumpa di acara seminar kanker bersama Doktor Warsito Purwo Taruno di Bandar Lampung pada Juni 2012.
Septa terkulai lemah di gendongan ibunya yang kurus. Matanya buram. Kedua bola hitam di matanya berada di arah batang hidung, juling. Telapak tangan kirinya menekuk dengan jari-jari merapat kaku, begitu juga telapak kaki kirinya. Orang Lampung menyebutnya kengkong. Dia datang diantar pak RT tempat tinggal mereka yang kebetulan mengetahui kegiatanku mengurus para penderita kanker yang tidak mampu.
Di acara itu, hadir juga seorang bocah lelaki lebih besar dari Septa, gemuk dan tampak sehat berusia sekitar 4 tahun. Berlari‐lari di antara sela kursi di ruangan seminar. Belakangan aku tahu, bahwa anak perempuan bernama Septa itu penderita kanker otak. Usianya ternyata sama seperti anak lelaki yang tampak sangat sehat itu. Sama‐sama 4 tahun, sama‐sama menderita kanker otak.
Kanker yang dideritanya membuat Septa tidak berkembang baik seperti anak seusianya. Ditambah kondisi ekonomi yang sangat minim. Anak lelaki itu, meski sama‐sama menderita kanker otak, tapi ekonominya baik. Hingga gizinya terpenuhi.
Belakangan kami tahu, anak lelaki itu tak selamat beberapa bulan pasca operasi kanker otaknya.
Edah emak Septa bercerita bahwa pada usia 2 tahun, tiba‐tiba Septa kejang‐kejang. Hasil diagnosa dokter, Septa dinyatakan epilepsi dan harus rutin konsumsi obat epilepsi.
Setelah nyaris 2 tahun konsumsi obat epilepsi, tiba‐tiba saja Septa kejang‐kejang lagi dan pingsan. Orangtua Septa segera membawa Septa ke rumah sakit untuk mendapat penanganan. Oleh dokter Septa dianjurkan untuk scan otak. Hasil scan otak menyatakan bahwa Septa terkena kanker otak, diduga jenis oligodendroglioma/Fahr Desease.
Sulit membayangkan bagaimana rasanya mereka menghadapi vonis itu, di tengah kesulitan ekonomi yang menghimpit. Tidak ada pilihan buat Septa selain operasi. Namun dokter yang menangani kasus Septa menyatakan bahwa tingkat keberhasilan operasinya kurang dari 50%.
Hal ini membuat orang tua Septa bingung dan menunda tindakan operasi, sampai akhirnya Septa diajak Pak RT menemuiku di acara seminar kanker bersama Doktor Warsito Purwo Taruno. Aku hanya bisa menyodorkan data Septa di antara puluhan data pasien kanker yang hadir hari itu.
Di sela kesibukan mendorong kursi roda, menurunkan mereka yang sudah tergeletak untuk mendapat pemeriksaan, menuntun pasien yang sudah lemah, aku sangat bingung dan sedih, karena aku tahu tak akan mampu segera mendapatkan alat terapi kanker yang mereka harapkan. Dana yang aku punya hanya cukup untuk membiayai administrasi pemeriksaan mereka dan mungkin bisa untuk mendapat 1 atau 2 alat saja. Yang lain harus antri sampai aku mendapatkan dana lagi untuk mereka.
Akhirnya pemeriksaan selesai. Aku harus menitipkan berkas pemeriksaan kepada tim C-Care Riset Kanker yang hadir saat itu agar nanti saat aku ada dana buat mengambil alat terapi, tak harus membawa mereka lagi ke Alam Sutera yang lumayan mahal biaya transportasinya bagi kami.
Ketika hal ini aku sampaikan, aku diminta menghadap Doktor Warsito. Saat ketemu aku bercerita sedikit tentang kegiatanku sebagai wanita pengangguran kepada Pak Warsito, dan menyampaikan juga kondisi keuangan yang memilukan ini. Pak Warsito malah memanggil timnya dan memerintahkan mereka untuk membuat semua alat untuk pasienku.
Tentu saja aku ketakutan, karena aku tak tahu kapan aku bisa dapat duit untuk melunasinya. Bagiku itu jumlah yang banyak banget. Karena satu paket alat terapi itu berharga belasan bahkan puluhan juta. Dan kali sekian pasien.
“Jangan, Pak. Saya tak berani janji kapan bisa bayar. Bahkan saya tak tahu bisa bayar atau enggak. Saya tak mau dipenjara gara‐gara tak bisa bayar hutang…,” jawabku.
“Buat aja…,” jawab Pak Warsito santai.
“Saya tak punya agunan apa apa, lho, Pak. Selain surat nikah…,” canda saya.
“Oh, sudah nikah toh…,” jawabnya tak kalah becanda.
Dan alat terapi kanker itu benar‐benar dikirim. Salah satunya buat Septa.
Septa hidup di bawah garis kemiskinan. Edah emak Septa harus fokus mengurus Septa karena kondisinya. Bapak Septa cuma seorang buruh nelayan, yang kerjanya membantu nelayan tradisional menarik jaring ketika perahu membawa ikan ke tepi pantai. Kami menyebutnya sebagai tukang payang. Dan di saat terang bulan tak ada yang bisa dilakukan, karena nelayan tidak turun ke laut.
Rumah Septa hanya terbuat dari geribik, bertengger di atas siring lebar (talud) yang dibuat di tepi pantai untuk antisipasi agar saat air laut pasang tidak menggenangi rumah warga.
Sungguh miris melihat kondisi tempat tinggal Septa. Di depan tempat tinggalnya ada gundukan sampah sisa kerja para pemulung. Di sekelilingnya banyak kandang kambing dan kandang ayam. Kalau kami berkunjung ke rumahnya harus melalui jembatan yang terbuat dari batang kelapa ala kadarnya. Dan harus jalan bergantian karena takut jembatannya ambrol.
Ketika mulai memakai ECCT yang berupa helm, Septa selalu teriak kesakitan. Tampaknya akan susah mencapai jam pemakaian maksimal dengan kondisi ini. Tapi tak ada pilihan, ini satu-satunya harapan bagi Septa untuk bisa sembuh. 5 menit saja bisa bertahan di kepalanya sudah menjadi prestasi sendiri.
Aku mengajari Edah emak Septa untuk menggendongnya saat memakai alat, sambil memegang tangannya supaya tidak melepaskan helm kanker itu dari kepalanya. Kadang kami siasati dengan memberinya makanan kesukaannya. Harus banyak strategi yang dilakukan supaya helm itu bisa tetap bertengger di kepala Septa.
Alhamdulillah perjuangan itu mendapat hasil yang sebanding. Mata Septa perlahan mulai bisa melihat, matanya yang buram berangsur cerah, bola matanya mulai kembali ke posisi yang seharusnya, telinganya mulai mendengar. Septa mulai bisa bicara: “Mak,” kata pertama yang diucapkannya.
Perlahan kakinya sudah mulai bisa melangkah lagi meski langkahnya sangat lemah.
Tak ada yang dapat mengalahkan kegigihan dan cinta seorang ibu. Aku masih ingat cerita Edah, ketika dalam suatu kunjungan aku melihat jidat Septa memar.
“Dia kan tak bisa liat, jadi kalo jalan serudukan. Udah diteriakin suruh minggir juga percuma, orang dianya budek,” cerita emaknya sambil cengengesan takut aku omelin. Aku memang selalu cerewet. Semata untuk kebaikan mereka. Agar Edah tidak lengah merawat Septa dengan kanker otaknya. Tapi, itu dulu. Masa-masa kelam itu sudah berlalu.
Suatu hari Edah berkata padaku: “Untung Edah ini miskin ya, Bu. Jadi nurut aja apa yang Ibu suruh. Kalo banyak duit kali Edah udah bawa Septa kemana‐mana. Yang hasilnya belom tentu. Kayak anak lelaki itu.”
Mungkin betul apa yang Edah bilang. Meski umur bukan bagian dari riwayat sebuah perjuangan, kesembuhan Septa adalah hikmah di balik kemiskinan. Dia harus pasrah hanya didampingi ECCT saja dalam perjuangannya bebas dari kanker otak yang dideritanya. Dan hasilnya Septa makin hari tumbuh menjadi lebih baik.
Bahkan setelah beberapa bulan dan terbiasa pakai alat, Septa yang selalu minta pakai alat. Seperti ketika suatu hari helm kanker Septa aku bawa keC-Care untuk diperbaiki. Berulang kali dia bertanya pada emaknya: ” Mak, helm Septa mana. Septa mau pake.”
Beberapa tahun berlalu kemudian saatnya kami mulai memikirkan bagaimana Septa harus membangun jalannya hari ini, karena tanah hari esok sangat tidak pasti, sulit direncanakan. Dengan kondisinya Septa tak sempat mencicipi bangku sekolah.
Tapi aku tahu akhirnya dia bisa bertahan bahwa dia sebenarnya kuat. Dan dia harus tahu bahwa dia sebenarnya berharga. Sangat berharga bagi kami. Kesembuhannya adalah keberhasilan perjuangan kami, dan cinta emaknya. Juga adik‐adiknya yang belakangan hadir dalam kehidupan Septa.
Akhirnya saya tahu, saya sudah meninggalkan jejak dalam hidupnya. Dan saya menjadi bagian dalam perjalanan hidupnya. Kalo saya janji akan datang, dia akan memakai baju terbaiknya. Dan tak sabar menunggu sambil terus bertanya pada emaknya: “Mak, Bu Haji Septa kok belom datang?” Saya sudah jadi miliknya.
Setiap kali bertemu Septa aku melihat kebahagiaan dan harapan di matanya. Setiap kali melihat Septa, aku merasa bahagia. Lebih bahagia daripada yang pernah kubayangkan. Ternyata memberi kesenangan pada sebuah hati dengan tindakan akan menciptakan kebaikan. Kebaikan dalam memberi menciptakan cinta. Cinta akan membawa kebahagiaan dalam posisi memberi atau pun menerima.
Ini tahun 2021. Sembilan tahun sudah Septa berjuang melawan kanker bersama ECCT, dan aku. Terima kasih atas helmet gratisannya Pak Warsito Purwo Taruno.
CATATAN:
- Tahun 2024, Septa melewati 12 tahun sejak pertama kali didiagnosa kanker dan mulai memakai alat ECCT;
- Saat ini kondisinya baik, bicara normal, penglihatan normal, tak ada keluhan sakit, hanya masih ada kendala jalan yang belum kembali sempurna;
- Kemungkinan sel-sel tumor dari tipe oligodendroglioma sudah tak berkembang (mati) setelah terapai ECCT cukup lama;
- Hanya bekas tumor yang mati umumnya berubah menjadi fibrosis (jaringan parut0 yang kemungkinan masih berpengaruh pada saraf di otak:
- Jaringan fibrosis bisa terjadi secara signifikan apabila proses terapi berjalan cukup lama (hingga tahunan) disertai proses radang;
- Untuk meminimalisir proses terjadinya jaringan parut sehingga mengganggu pemulihan jaringan dan saraf, proses terapi perlu dibuat lebih singkat (beberapa bulan) dan radang sebagai respon alami sistem imunitas tubuh terhadap sel-sel mati sedapat mungkin perlu ditekan tidak terlalu lama;
- pengembangan terbaru alat ECCT telah berhasil mempersingkat waktu terapi dari beberapa tahun hingga hitungan bulan, dan efek radang bisa ditekan secara signifikan.
Informasi lebih lanjut tentang ECCT bisa dilihat di:
https://c-techlabs.com/electro-capacitive-cancer-therapy-ecct-devices/