Isterinya Meninggal Karena Kanker Payudara, Anaknya Kemudian Didiagnosa Kanker Tulang yang Mematikan
Kisah Anak Remaja: 10 Tahun Melewati Kanker Tulang Osteosarcoma.

Arbi

“Saya membesarkan Arbi sendiri, bu.”  Kata Been papa Arbi  saat pertama kali kami jumpa malam itu. Hati saya langsung berdesir. Menyiapkan mental untuk tidak ikut menangis ketika mendengar kisah yang saya yakin akan menguras air mata.

“Ibu Arbi meninggal saat Arbi berusia 8 tahun..” Lanjutnya.

“Kanker payudara.”

Waduh bahaya..
Saya bisa nangis kalo begini.
Sayang sama bedak saya meski bedak murahan.

“Jomblo dong pak…,” canda saya untuk mencairkan suasana.

“Sampe sekarang…,” tegas Been.

“Saya juga gak punya pacar pak…,” saya lihat si bapak bingung mesti bicara apa.

“Gak punya pacar bukan berarti jomblo kayak bapak….,” lanjut saya sambil cengengesan.

“Ibu sudah mau nangis kan…?” Tebaknya cerdas.
“Saya juga masih selalu nangis kalo cerita tentang ini…nih. Saya sudah bawa handuk kecil.”

Mama Arbi sudah menjalani operasi payudara sebelah kiri karena ada benjolan. Beberapa tahun kemudian kanker menyerang yang sebelahnya dengan tipe yang lebih ganas.

Darah kadang-kadang keluar dari pori-pori payudara. Bukan merembes, tapi menyembur.

Dan ketika lonceng kehidupan berhenti berdenting, tsunami air mata menerjangpun tak akan mampu menghentikan kepergiannya.😭

Been papa Arbi, harus terus melangkah dengan dua anak yang belum mengerti apa-apa. Bukan hal yang mudah baginya menjalani hidup dengan harta yang nyaris tak tersisa demi memperjuangkan kesembuhan sang isteri tercinta.

Rumah dan semua harta sudah terjual. Saat itu Been hanya mampu menyewa kamar kos untuk mereka bertiga. Been tidur di tengah di antara kedua anaknya. Hidup saling menguatkan di tengah keterbatasan.

Maka takkan ada yang luput dari pandangannya, sekecil apapun perkembangan kedua anak itu.

Dan ketika Been melihat ada benjolan kecil di lengan Arbi, hatinya berdesir perih…
Anak ini kena, batinnya.

Tidak ada keberanian Been untuk membawa Arbi periksa ke rumah sakit. Bukan hanya masalah biaya; lebih pada kesiapan hatinya sendiri.

Tidak cukupkah hanya isteri saya saja?? Teriak batin Been. Dia tidak sanggup membayangkan orang yang sangat disayanginya kembali terperosok dalam derita yang sama.

Benjolan di lengan kanan Arbi terus membesar.  Jangan tanya bagaimana sakitnya. Bisul kecil saja sudah membuat kita panas dingin.

Keluarga besar mereka, satu per satu akhirnya mengetahui kondisi Arbi. Tahun 2011 Arbi dibawa Pakdenya periksa ke dokter spesialis tulang. Dan apa yang selama ini sudah terbersit di hati mereka, sekarang jadi sebuah realita. Arbi divonis kanker tulang.

Affi adik Arbi juga sangat kaget dan tak menyangka bahwa masnya kena kanker.

“Lebih ke takut sih sebenernya. Soalnya mama juga kan kanker,” kata Affi.

Affi nyaris tidak bisa mengingat bagaimana rasanya memiliki mama, bagaimana rasanya belaian seorang ibu.

Dan setelah kanker merenggut mama dari hidupnya, sekarang kanker menyerang Arbi kakaknya tersayang.
Rasa takut kehilangan kembali orang yang dia sayang, terus menghantui hari-hari Affi.

Bukan hanya Affi yang merasa sangat sedih atas musibah ini. Ada Bude Darti kakak Been yang sering dimintai tolong menjaga mereka tidak kalah sedihnya.

“Saya ditelepon jam 10 malam. Mendengar kabar itu, saya menangis sepanjang malam. Sampai pagi gak bisa tidur. Arbi dan Affi kami besarkan bersama-sama.  Saya gak sanggup membayangkan hidup Arbi harus begini berat.”

Been mencari tau tingkat keganasan kanker yang diderita Arbi. Karena dokter cuma berkata, “yang sabar pak.”

Bagi Been itu bukan kalimat biasa. Kalimat yang membuat hatinya perih di sela rasa takut yang amat sangat.

Peristiwa kehilangan memang akan membuat kita sulit melihat optimisme lain.

Dokter menyatakan bahwa lengan Arbi harus diamputasi. Bukan hanya pada bagian lengan, tapi harus sampai separuh bahu untuk mencegah penyebaran. Kemudian tentu diikuti ritual “penyiksaan” lanjutan berupa kemoterapi.

Dokter melengkapi penjelasannya bahwa usia Arbi hanya bisa bertahan 6 bulan. Dioperasi atau tidak dioperasi. Karena ini tipe yang sangat ganas.

Tidak ada banyak pilihan dan waktu yang tersedia.  Been berjuang keras melatih logikanya agar cerdas menentukan sikap. Luka batin yang masih menganga akibat kanker yang diderita isterinya kini kembali berdarah-darah.

Dan sang waktu akan segera mencapai batas kedaluwarsa, tidak bersedia menunggu.

Ketika hidup berada di titik terendah, kita harus selalu  menyadari bahwa  sesungguhnya tidak ada orang yang keluar dari hidup ini dalam kondisi hidup. Setiap waktu adalah petualangan. Begitu hidup berakhir, hidup tak akan pernah kembali.

Akhirnya Arbi  memutuskan tidak mau dioperasi.

“Untuk apa hidup enam bulan tanpa tangan, dengan tubuh hancur karena kemoterapi terus tetap mati.  Lebih baik menahan sakit seperti sekarang tapi tetap punya tangan.”

Ini keputusan Arbi.

Dia sudah pasrah dengan kondisinya.
Dan kalaupun pilihannya tetap harus mati, dia mau dimakamkan dengan tangan yang masih menyatu bersama raganya, meski lengan itu sudah tidak berbentuk lengan lagi.

Mereka mulai belajar menikmati kanker sebagai hadiah bagi mereka.

Dalam hidup kita harus terbuka pada semua kemungkinan. Bahwa hadiah bisa datang dalam bentuk yang ingin kita tolak. Namun hadiah itu mungkin akan membuka pintu pada diri kita yang baru.

Rahasia Allah kadang sulit kita pahami. Tapi janji Allah itu pasti. Bahwa sesudah kesulitan akan datang kebaikan…Asal kita tetap tawakal. Dan kita harus meyakininya dengan sepenuh jiwaraga.

Maka ketika mereka mendapat info bahwa Doktor Warsito Purwo Taruno seorang penemu alat terapi kanker akan datang ke Semarang, mereka tahu ini adalah jawaban dari semua do’a. Info tentang alat ini sudah lama mereka dengar, dan kerabat sudah mulai mencari tahu cara untuk mendapatkannya.

“Beliau satu-satunya yang memberi saya harapan…di situ titik balik saya,” kata Arbi.

Di saat kita merasa tak bisa lagi menyalakan api, kita tidak harus mundur. Jangan biarkan rintangan sekecil apapun membelokkan langkah kita. Meski bumi akan runtuh, kita harus terus melangkah meraih kebahagiaan.

“Waktu tau itu kanker ganas dan harus diamputasi, kemoterapi, dengan batasan usia hanya tinggal enam bulan, marah, sedih…putus asa.”  Kata Arbi dengan mata menerawang. Akhirnya harus menerima kenyataan, seperti mama saya harus hidup berdampingan dengan kanker.

Bisa berjumpa dengan Pak Warsito adalah sebuah karunia. Ini adalah cara Allah membantu hambaNYA.

Arbi langsung diukur untuk pembuatan alat begitu dapat kesempatan menemui Pak Warsito. Ketika itu kanker di lengan Arbi sudah sebesar kepala.

Tidak banyak yang dijanjikan Pak Warsito ketika itu, tetapi inilah harapan satu-satunya. Setelah semua menyatakan vonis mati terhadap Arbi.

Menurut Pak Warsito, “Bahayanya kanker tulang Arbi bukan di tangannya, tetapi apabila kanker sampai menyebar ke paru-paru dan otak…di paru-paru bisa tumbuh tulang, dan kalau sampai menyebar ke otak sangat fatal. Karenanya dokter memvonis hanya 6 bulan, baik dioperasi maupun tak dioperasi. Alat ECCT yang paling penting adalah bagaimana bisa mencegah agar kanker tak masuk ke paru-paru dan otak, syukur-syukur bisa melemahkan kanker awal yang di tangan agar aman untuk dioperasi.”

Tahun 2012 Arbi mulai kolaborasi dengan ECCT dalam melawan kankernya.

“Ada masa saya nyaris menyerah. Tapi melihat papa, dedek, dan orang-orang di sekeliling saya begitu menginginkan saya sehat. Di situ saya tau bahwa saya tidak boleh menyerah.”

Arbi tetap terus melanjutkan sekolah…Belajar sambil mengatasi rasa sakit, tentu bukan hal yang mudah.
Menjalani kehidupan sebagai remaja yang sehat saja sudah cukup sulit. Mesti mengalami berbagai perubahan yang sudah umum dengan teman-teman, sekolah, guru, dan sebagainya.

Dan Arbi dengan tubuh miring ke kanan akibat kanker yang dideritanya, tetap mampu tamat SLTA dengan nilai yang gemilang.

“Untuk sampai tamat SMA saja menjadi sesuatu yang luar biasa.”  Kata Arbi dengan wajah yang selalu penuh semangat.

“Setiap kali bangun dari tidur yang gak pernah lelap karena sakit, saya suka pukul-pukul pipi, untuk mastiin ini masih di dunia…,” katanya sambil tertawa lucu membayangkan masa itu.

Faktanya saya masih dapat kesempatan jumpa sama Arbi..dan dalam kondisi hidup.
Saya yakin bukan hantu…Tuh kakinya jelas menapak ke tanah.🤭🤣🤣

Arbi tahu betul bahwa hidup berdampingan dengan kanker membuat jarak antara dunia dan akherat menjadi sangat dekat. Maka setiap kali masih terbangun dan menghirup udara segar dia akan merasa sangat bersyukur.

“Dan ketika saya akhirnya dinyatakan lulus SMA, mencoba ikut seleksi PTN, nyatanya saya lolos…” Arbi nyengir senang membayangkan saat-saat bahagia itu.

Momen-momen yang mampu mengalihkan rasa sakit…rasa takutnya menghadapi kanker ini, menjadi pemicu semangatnya untuk terus menguatkan jiwaraga agar mampu mengusir kanker dari tubuhnya.

“Setiap bangun tidur, saya mungutin tulang-tulang yang rontok dari tangan saya…setiap kepingnya adalah harapan.” Kepingan tulang belulang dari kanker yang rontok karena alat terapi kanker buatan Pak Warsito itu adalah lambang kehidupan dan harapan bagi Arbi.

Di tempat tulang yang sudah rontok itu terbentuk lubang menganga. Dan dalam hitungan waktu lubang akan terisi kembali dengan bongkahan-bongkahan tulang yang menyerupai batu karang… bongkahan- bongkahan dari kanker ganas yang mati. Antara kanker yang  terus berupaya hidup dan mati karena pakai alat terus berpacu, menyiksa hidup Arbi.

Bukan hal yang mudah bagi Pak Warsito sendiri.  Beliau harus terus berkutat di labolatoriumnya, agar alat yang beliau ciptakan mampu berburu waktu melawan keganasan kanker tulang yang diderita Arbi.

Pak Warsito pernah cerita, “Hampir putus asa juga menghadapi kanker yang diderita Arbi. Rontok terus tumbuh lagi, rontok tumbuh lagi…”

“Akhirnya kita membuat alat yang paling kuat yang belum pernah kita buat sebelumnya. Kita minta Arbi memakainya hampir 24 jam tanpa henti. Atas kehendak Allah, akhirnya kankernya benar-benar rontok…tapi seluruh tulang lengannya habis menjadi serpihan seperti kayu lapuk dan batu karang berwarna-warni keluar lewat luka di lengannya. Dia masih punya lengan tapi tanpa tulang di dalamnya, dan masih bisa menggerakkan lengannya,” kenang Pak Warsito.

Been Papanya sangat kuat memberi dukungan buat anaknya. Mereka adalah tim yang solid. Been tidak pernah memperlakukan Arbi sebagai remaja penderita kanker.

“Arbi berangkat sekolah sendiri…Saya suruh bawa motor dengan badan yang miring ke kanan…miring banget karena tangannya besar.” Sebagian orang marah melihat perlakuan ini…Lebih karena gak tega melihatnya.

Tapi melihat kegigihan mereka, kerabat hanya mampu mensupport sekuat tenaga.

Ada banyak sahabat yang begitu baik dan perhatian. Salah satunya ada Shofa. Beliau adalah sahabat Been. Tempat dimana mereka menumpang istirahat setiap kali harus kontrol ke klinik di Alam Sutera.

“Jujur ada perasaan miris melihat anak dengan usia yang masih sangat muda mendapat ujian harus terkena kanker ganas,” kata Shofa.

“Namun melihat semangat Arbi saat itu saya gak bisa ngomong apa-apa kecuali menyemangati dan mendukung apa pun pilihannya. Saya sangat salut sama Arbi yang kelihatan begitu tegar dan masih bisa tersenyum, bercanda seolah tidak mengalami hal yang serius.”

Arbi mampu melalui tahap demi tahap dalam kehidupannya dengan sangat tegar. Tak luput dukungan papa dan adiknya yang selalu mensupport dan memperlakukan Arbi dengan sebiasa mungkin bersikap biasa. Meski jauh di lubuk hati mereka, bersemayam kecemasan, ketakutan, dan rasa pedih.  Tapi mereka tidak pernah menunjukkan sikap itu.  Pribadi-pribadi bentukan Been, menjadi sosok yang sangat tangguh.

“Shofa adalah sosok sahabat terbaik yang pernah saya miliki.  Bersedia jadi tempat singgah, numpang mandi, numpang makan…Karena kondisi saya sangat terbatas…berbagi waktu mengurus Arbi, mengais rejeki hanya supaya besok tetap bisa makan saja. Sahabat-sahabatlah yang membuat kami bisa terus berjalan.”

Affi adik Arbi pun merasakan besarnya peran orang-orang di sekeliling mereka.

“Aku bersyukur banget banyak orang baik yang membantu di kehidupan kami. Menurut aku sih itu bener-bener menguatkan mental buat aku, papa dan mas. Jadi ngerasa kalo banyak yang sayang sama kita, banyak yang peduli, banyak yang perhatian. Dari hal kecil kayak mau dengerin cerita kita aja tuh, udah berarti banget.” Mereka sangat pandai mensyukuri semua hal-hal kecil yang singgah dalam kehidupan mereka.

Waktu terus berjalan. Waktu enam bulan yang ditargetkan dokterpun sudah jauh terlampaui. Arbi terus berkutat melawan kanker dengan kegigihannya. Alat terapi kanker nyaris 24 jam tidak lepas dari tubuhnya. Hanya lepas di saat dia mandi saja.

“Demi untuk kesembuhan, saya harus merelakan bangku kuliah yang jadi idaman.” Kata Arbi dengan wajah sedih.

“Saya bergabung di klinik risert kanker. Di sana saya menemukan keluarga baru, mendapat banyak pelajaran berharga. Tentang beratnya perjuangan dalam menegakkan kebenaran, dan kesabaran.  Sampai tiba waktunya saya harus ikhlas bercerai dengan lengan kanan saya.”

Berdasarkan hasil pemeriksaan, kanker di lengan Arbi sudah mulai jinak. Kondisi Arbi terus dipantau Pak Warsito dan tim dokter yang mendukung proyek kemanusiaan ini. Proyek menyelamatkan satu nyawa anak manusia.

Dokter mulai melakukan operasi di lengan Arbi.  Operasi diagendakan akan dilakukan bertahap, sambil terus dipantau reaksi kankernya sendiri setelah proses operasi.

“Dokter yang menangani Arbi adalah sosok yang luar biasa…Saya dipertemukan dengan orang-orang baik selama mengurus Arbi.”

Kata Been mengenang masa itu. Tanpa Pak Warsito dan tim dokter yang luar biasa, mungkin Arbi sudah tinggal menjadi sebuah dongeng kelam.

“Seperti orang tua yang saya miliki, akhirnya tangan saya juga cuma satu. Kalo bilang gak sedih sih aneh.  Tapi saya mau bilang pada diri saya sendiri, bahwa saya tetap bisa hebat meskipun hidup cuma dengan satu tangan saja.”

Arbi tidak larut dalam kesedihan setelah kehilangan sebelah tangannya. Dia mencoba mencari pelatih untuk latihan tenis meja. Mungkin karena kasihan, Arbi mendapat pelatih tanpa harus membayar. Tiga bulan kemudian pelatih bilang bahwa Arbi gak mungkin bisa bermain mahir dengan tangan kiri, karena pada dasarnya memang tidak kidal dan refleksnya dia memang kanan seperti orang normal lainnya.

Akhirnya Arbi memutuskan untuk berenang. Pilihan yang sangat tepat. Karena renang bisa membantu mengembalikan bentuk tubuh Arbi yang sudah miring ke kanan.

Arbi memang sosok yang sangat gigih. Dia bukan saja berhasil mengembalikan postur tubuhnya menjadi tegap kembali, tapi juga berhasil terpilih sebagai salah satu perenang yang lolos untuk ikut PON mewakili daerah asalnya Semarang.

Prestasi yang membanggakan papa dan juga Affi adiknya.

“Kalo sekarang aku seneng banget liat mas yang sekarang. Kayak terlahir kembali gitu…hehe. Awalnya emang berat waktu harus diamputasi, tapi ngeliat semangatnya mas buat ngelanjutin hidup itu jadi suntikan semangatku juga.” Kata Affi.

Namun akhirnya Arbi membatalkan turun di kejuaraan renang PON 2019, karena dia diterima bekerja di PINDAD. Sebuah prestasi yang luar biasa buat anak dengan kondisi seperti Arbi.

“Setiap kali melihat foto Arbi pakai seragam PINDAD diantara teman-temannya, mata saya masih basah. terharu ya sedih juga…karena tangannya sudah hilang satu…” Kata Been dengan mata basah.

Arbi bersama ECCT berhasil menaklukkan kanker ganasnya, berhasil menguatkan jiwanya. Setelah lebih dari tujuh tahun berjuang bersama ECCT, Arbi dinyatakan bersih dari kanker.

Ketegaran Arbi dalam menghadapi kesulitan hidupnya, membuat aku sangat ingin berjumpa dengan anak muda ini.

Ketika pertama saya jumpa dengan Arbi, dia menyodorkan tangan kirinya untuk bersalaman dengan saya. Anak ini seusia anak bujang saya. Air mata saya nyaris tumpah melihat lengan di balik tangan jaket kulitnya yang menjuntai kosong, membuat hati saya teriris. Tangan itu sudah disita oleh kanker yang ganas.

“Saatnya cari pacar nih…Masa dua lelaki gagah begini jomblo akut.” Canda saya pada Been dan Arbi. Lagi-lagi saya gak mau menghancurkan bedak saya karena air mata.

“Tanpa tangan??” Arbi belagak pesimis.

“Ya, supaya tangannya nambah satu lagi?” Jawabku disambut gelak tawa mereka.

Aku bersyukur dapat kesempatan mengetahui bagian kehidupan anak muda ini. Dan terharu menyaksikan metamorfosisnya dari remaja penderita kanker menjadi pemuda tangguh karyawan PINDAD.

Aku memang sangat ingin jumpa dengan Arbi, agar aku semakin menyadari bahwa kesulitan dalam hidupku tidak ada artinya dibanding kesulitan hidup orang lain di luar sana.

Aku ingin menjadikan Arbi contoh bagi pasien-pasien kanker lain yang kadang-kadang mudah putus asa, malas berjuang, meski kankernya sangat jauh lebih ringan dibanding kanker yang dialami Arbi.

Setiap orang mengalami rintangan dalam hidup. Tapi cara kita menghadapinyalah yang akan menentukan hasil akhirnya. Apakah kita ingin tetap menjadi ulat atau kupu-kupu dan bisa terbang  bebas  dalam keindahan alam semesta.

Seperti dikatakan oleh Dahlan Iskan: “Jika Tuhan mengizinkan kita menapaki sebuah perjalanan berat. Ia juga akan memberi kita sepatu yang kuat.”

Betapa hidup begitu berarti.

Oleh: Nurbadi’ah Barliyan

#10YearsECCT

Tentang ECCT: https://c-techlabs.com/electro-capacitive-cancer-therapy-ecct-devices/