Usia Max baru 5 tahun ketika didiagnosis kanker otak di Rusia awal 2014. Ia kemudian melakukan operasi pengangkatan tumor di Korea Selatan. Hasil patologi menunjukkan ganas jenis astrocytoma. Dokternya menganjurkan melakukan kemoterapi pasca operasi. Tetapi ibunya menolak melakukan kemoterapi mengingat Max sejak kecil mengalami epilepsi akibat cedera otak akibat kecelakaan ketika umurnya baru setahun. Untuk mencari alternatif selain kemo ibunya membawa Max ke Indonesia untuk melakukan terapi ECCT setelah hasil MRI muncul adanya kekambuhan 9 bulan pasca operasi di Korea. Max mulai memakai alat ECCT sejak Desember 2014. Ia dan ibunya tinggal di Bali untuk melakukan terapi epilepsi dan sekaligus pakai ECCT. Hasil scan MRI setelah pemakaian 8 bulan Max sudah dinyatakan bersih. Max masih menggunakan alat ECCT hingga 5 tahun. Setelah 5 tahun pemakaian dan hasil CT scan tetap tak nampak ada kekambuhan ibunya kemudian meminta merubah terapi medan listrik Max untuk membantu mengatasi epilepsi-nya. Melewati 10 tahun kondisi Max relatif baik. Saat ini ia sudah pindah dari Indonesia dan tinggal di Turki.

Usia 5 Tahun dari Rusia Kena Kanker Otak, Operasi di Korea dan Terapi ECCT di Indonesia hingga Melewati 10 Tahun

Gambar: Hasil MRI Max sebelum operasi dan setelah operasi serta hasil MRI 9 bulan pasca operasi di Korea Selatan yang menunjukkan adanya recurrence sebelum pakai alat ECCT, dan hasil MRI/CT scan yang menunjukkan perkembangannya setelah 8 bulan dan 4 tahun pakai ECCT yang menujukkan massa tumor sudah tak terdeteksi; Kanan: Foto Max tahun 2024 di Turki. 

Max lahir di Rusia tahun 2009. Kedua orangtuanya berwarganegara Rusia. Ketika umur satu tahun Max mengalami kecelakaan hingga terjadi benturan dan pendarahan otak. Ia didiagnosis epidural hematoma pada otak sebelah kanannya. Max kemudian menjalani operasi untuk mengatasi pendarahan otak dan dilanjutkan operasi pemasangan implan platina untuk menggantikan tempurung tengkorak yang rusak. Setelah operasi kondisinya jadi sering mengalami kejang seperti gejala epilepsi yang memengaruhi perkembangannya.

Pada usia 5 tahun Max tiba-tiba mengalami kejang hebat yang tidak seperti biasanya. Setelah dilakukan MRI ternyata didapati massa tumor di otak bagian kanan, bukan bagian kiri yang pernah dioperasi. Karakter massanya cenderung mengarah ke tipe glioma, jenis ganas. Ibunya kemudian membawanya ke Korea Selatan untuk menjalani operasi pengangkatan tumor. Operasinya berjalan lancar. Hasil patologi menunjukkan ganas, tipe astrocytoma. Mengingat tipenya mempunyai kemungkinan muncul kembali tinggi, dokternya menganjurkan untuk melakukan kemoterapi setelah menjalani operasi. Ibunya menolak kemoterapi mengingat sejak kecil Max mengalami gejala kejang akibat benturan otak dan sedang menjalani terapi untuk epilepsinya.

Trauma otak akibat cedera otak terutama yang berat dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker otak beberapa tahun kemudian, menurut penelitian. Namun cedera otak bukanlah penyebab utama kanker otak dan hubungan ini tidak selalu terjadi. Pada penelitian lain terkait mekanisme terjadinya tumor diketahui bahwa munculnya kanker diawali oleh proses radang yang terus-menerus akibat menumpuknya zat sampah di bagian otak tertentu yang menyebabkan kerusakan jaringan di sekitarnya dan memaksa sel-sel normal memperbaiki kerusakan itu dengan cara melakukan pembelahan diri secara intensif. Ketika radang terjadi terus-menerus akibat zat sampah yang menumpuk lama, proses pembelahan diri sel-sel normal itu bisa berlangsung terus-menerus, dan di saat itulah gen yang telah mengalami mutasi ikut terekspresi sehingga muncul dalam bentuk kanker. Proses radang berketerusan seperti ini mudah terjadi pada kasus benturan yang menyebabkan penumpukan sampah seperti darah kotor yang tidak bersih sehingga kemudian muncul kanker. Kanker otak jenis high grade glioma seperti astrocytoma atau glioblastoma adalah salah satu jenis kanker otak yang bisa muncul setelah adanya riwayat benturan sebelumnya.

Pasca operasi pengangkatan tumor di Korea ibu Max membawa Max ke Bali dan tinggal di sana untuk melakukan terapi Dolphin untuk mengatasi epilepsinya, sambil terus memantau kondisi tumor pasca operasi. Secara umum kanker astrositoma seperti yang dialami Max terutama jenis tingkat tinggi mudah tumbuh kembali dan menyebar cepat, sehingga seringkali memerlukan terapi tambahan seperti radiasi dan kemoterapi. Risiko kekambuhan lebih tinggi apabila terapi tambahan itu tidak dijalankan.

Kurang dari 9 bulan pasca operasi di Korea Selatan hasil MRI otak Max didapati kemunculan lagi massa tumor di sekitar bagian yang bekas dioperasi. Kepanikan ibunya bertambah mengingat masalah terapi terkait epilepsi Max yang belum selesai ditambah ada kekambuhan pada kankernya, sementara ia berusaha keras menghindari kemoterapi ataupun radiasi supaya tak menambah beban pada kasus epilepsi Max.

Harapan muncul ketika ibunya membaca berita di media terkait penemuan ECCT di Tangerang yang tersebar luas pada pertengahan tahun 2014. Dari Bali ibunya membawa Max terbang ke Tangerang untuk minta dibuatkan alat ECCT. Pertanyaan pertama oleh ibunya untuk kasus Max adalah karena di kepalanya terpasang implan batok kepala yang terbuat dari logam platina apakah medan listrik dari alat ECCT bisa menembus implan dan berefek terapi pada tumornya.

Secara prinsip karena ECCT menggunakan mekanisme kerja polarisasi listrik, bukan penetrasi gelombang listrik, adanya implan platina yang mempunyai sifat konduktor tinggi seperti elektroda tembaga yang dipakai pada alat ECCT, maka polarisasi medan listrik tetap terjadi pada permukaan lempeng implan sehingga efek terhadap terapi tak menjadi masalah. Max memakai alat ECCT yang berupa penutup kepala (helmet) mulai Desember 2014.

Secara umum proses terapi Max tak mengalami kendala maupun keluhan yang berarti. Secara volume massa yang tumbuh pasca operasi relatif sedikit, sehingga terapi ECCT sifatnya hanya membersihkan sisa massa yang tingkat konsentrasinya relatif rendah meskipun tersebar di sekitar bekas operasi. Efektivitas ECCT tergantung pada proses pembuangan sel-sel mati, bukan tingkat penyebaran sel, sehingga konsentrasi yang rendah meskipun tersebar relatif luas lebih mudah ditangani dengan ECCT daripada massa yang terkonsentrasi tinggi pada satu tempat, seperti karakter kanker dengan tingkat keganasan rendah. Hasil MRI otak Max setelah pemakaian kurang lebih 8 bulan menunjukkan massa kekambuhan yang sudah bersih.

Max masih terus memakai alat ECCT hingga 5 tahunan untuk preventif meskipun sudah dinyatakan bersih. Setelah 5 tahun pemakaian dan hasil CT scan juga menunjukkan tetap bersih dan tak ada kekambuhan, ibunya Max meminta untuk merubah program terapi medan listrik dari terapi tumor guna mematikan sel ganas ke stimulasi sel saraf untuk membantu terapi terkait epilepsi. Setelah 5 tahun pakai ECCT Max mulai terapi stimulasi medan listrik untuk membantu mengatasi kejang karena epilepsinya.

10 tahun sejak pertama kali Max datang ke C-Care Riset Kanker tahun 2014 ibunya mengirimkan foto dan video Max yang sedang main di sebuah pantai di Turki. Max dan ibunya saat ini sudah pindah dari Bali dan tinggal di Turki. Max nampak sehat, suaranya tetap nyaring seperti biasanya. Semoga tetap sehat buat Max (WS).