Bu AI didiagnosa tumor chordoma dengan ukuran hampir 19 cm dari hasil CT scan pada pertengahan tahun 2020, keluhannya sudah mulai muncul sejak 5 tahun sebelumnya. Hasil biopsi menunjukkan tipe tumor ganas yang disebut Chordoma, jenis tumor yang sangat langka. Awalnya sudah direncanakan operasi, tetapi karena massanya sudah sangat besar dan sudah merusak tulang ekor dan panggul dokter membatalkannya, resikonya sangat besar dari lumpuh permanen hingga tak bisa selamat. Tak ada alternatif lain setelah mencari lama akhirnya Bu AI menemukan ECCT yang mulai dipakainya secara rutin dari Oktober 2020. Perjuangan pakai alat ECCT tergolong luar biasa, karena rasa panas yang sangat hingga keringat bercucuran selama 15 menit yang terasa seperti berjam-jam, saat pakai alat terasa seperti “nyetrum,” membuat sakit malah bertambah. Reaksi beberapa hari setelah pakai alat juga tak tak kalah seru dari buang air yang berbau bangkai sampai buang gas yang berentetan seakan tak ada henti-hentinya. Seiring dengan pembuangan yang heboh, sakitnya mulai berkurang, hasil MRI menunjukkan massa yang menyusut signifikan dalam 6 bulan dari ukuran 19 cm menjadi 8 cm. Tetapi meskipun ukuran massa yang berkurang cepat, perbaikan klinis Bu AI relatif lambat, hingga 6 bulan pertama ia masih belum bisa duduk atau berdiri. Ia baru bisa berdiri dan jalan selangkah dua langkah setelah 6 bulan, baru bisa lepas kateter setelah 10 bulan, hingga 2.5 tahun ia masih pakai kursi roda. Baru setelah lebih dari 3 tahun Bu AI akhirnya bisa lepas kursi roda. Hasil MRI terakhir massanya sudah semakin menyusut. 

ECCT bu AI

GAMBAR: Foto terakhir Bu Qurotul Aini (24 Mei 2025) setelah 5 tahun sejak pertama didiagnosa kanker; A: Hasil CT scan 16 Juni 2020 yang menunjukkan massa tumor besar di sakrum dengan ukuran 15.6X18.6X12.6 cm di sentral yang sudah mendestruksi sacrum coccygeus, gambaran lesi Sacro-Coccygeal Chordoma/Chondrosarcoma; B: Hasil MRI pada massa yang sama pada tanggal 14 Juli 2020; C: Hasil MRI setelah pemakain ECCT selama 6 bulan tanggal 1 April 2021; D: Gambar MRI setelah pemakaian ECCT 2.5 tahun tanggal 16 Februari 2023.

Bu AI, sebutan nama lengkap Bu Qurotul Aini, dibawa masuk ke C-Care dengan dipapah dari mobil oleh suaminya pada akhir September 2020. Sekarang (Mei 2025) ia sudah bisa jalan relatif normal.

Bu AI sudah merasakan sakit pinggang dan tidak nyaman saat duduk mulai 2016. Keluhannya timbul dan tenggelam. Sempat cek ke bidan dan dokter kandungan tetapi tak ditemukan kelainan. Ia disarankan untuk melakukan terapi senam. Hingga 2019 rasa nyeri masih timbul tenggelam. Karena masih bisa ditolelir dan karena kesibukan sebagai ibu rumah tangga, maka ia cenderung membiarkannya.

Awal 2020 ia mulai merasakan sakit yang sangat pedih pada ujung tulang ekornya dan mengalami kesulitan duduk, ia perlu menggunakan bantal sebagai ganjalan. Bokongnya terasa seperti terbakar dan mengalami peradangan hebat. Ia mulai gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak.

Lama kelamaan keluhannya bertambah, kakinya sebelah kiri seperti mau lepas dan nyeri luar biasa. Ia mulai mengalami kesulitan buang air besar, buang air kecil pun sangat sedikit, seperti ada sumbatan di saluran kencing. Perutnya mulai kembung. Ketika konsul ke dokter ia didiagnosa sistokel, yaitu otot kandung kemih yang turun, disarankan melakukan terapi dengan senam Kegel, karena kalau pun dioperasi akan kembali turun dan sifatnya hanya sementara saja.

Pertengahan 2020 kondisinya semakin menurun, terlebih saat malam, ia sering menangis semalaman menahan rasa pedih. Bu AI mulai tidak mau makan dan lebih banyak hanya minum saja. Kembali ke rumah sakit, dokternya memberikan tindakan pasang kateter untuk membantu buang air kecil dan dilanjutkan pemeriksaan dengan CT scan keesokan harinya.

Hasil CT scan membuatnya sangat ‘shock’, ditemui massa sebesar hampir 19 cm yang telah memakan tulang ekor dan tulang pinggul serta mendesak seluruh organ di rongga perut bagian bawah dan anus. Itulah yang mengakibatkan Bu AI mengalami sakit luar biasa pada bagian tulang ekor, mati rasa pada kedua kaki, serta gangguan buang air besar dan kecil.

Agustus 2020 Bu AI direncanakan dilakukan tindakan operasi di rumah sakit besar di Jakarta. Tetapi 2 jam sebelum tindakan, tim dokternya datang memberitahu bahwa operasi pengangkatan tumor tak jadi dilakukan dan hanya akan dilakukan tindakan biopsi. Setelah biopsi, kedua kakinya bagian telapak kaki terasa seperti membatu dan tidak bisa bergerak, lunglai tak bertenaga. Tubuhnya bagian bawah seperti mati rasa. Bu AI diminta pulang, dan menunggu hasil biopsi.

Hasil biopsi menunjukkan tipe tumor ganas yang disebut Chordoma. Jenis tumor yang sangat langka, berasal dari sisa sel embrio/mesenkimal pembentuk tulang belakang (notochord) saat kondisi masih janin. Tumor ini umumnya muncul di tulang ekor atau pangkal otak, resiko paling tinggi terjadi pada usia 40-70 tahun dengan tingkat pertumbuhan dan prognosa yang berbeda tergantung tipenya. Untuk massa tumor yang tak bisa dioperasi bersih kemungkinan bisa bertahan hingga 5 tahun kurang dari 40%.

Tumor yang diderita oleh Bu AI adalah bukan tipe spesifik, ketika didiagnosa ukurannya sudah sangat besar. Alternatif operasi sangat sulit dilakukan mengingat massa yang sudah sangat besar, sudah menggeogoti tulang panggul, serta mengalami pelengketan pada organ sekeliling. Ketika disampaikan resiko operasi adalah lumpuh permanen atau mungkin tak selamat, Bu AI dan keluarga memilih mundur dan memutuskan melakukan tindakan pengobatan alternatif.

Bu AI sempat lama mencari metode alternatif yang mungkin bisa membantu kasusnya, dan akhirnya menemukan metode terapi dengan alat ECCT di C-Care. Bersama suaminya ia mengonsultasikan kemungkinan bisa pakai alat ECCT. Konsultan fisika medis (Fismed) awalnya ragu-ragu alat ECCT bisa membantu kasus yang dialami oleh Bu AI. Sebelumnya belum pernah ada kasus yang sama.

Konsultan Fismed menyampaikan alat ECCT kemungkinan bisa membantu melemahkan kanker dan “melepaskan” massa tumor dari pelengketan pada organ-organ sekeliling, tetapi untuk bisa membuang sel-sel mati akan tetap memerlukan operasi karena massa sudah cukup besar. Konsultan Fismed menyarankan untuk memakai alat 3—4 bulan sambil dilihat perkembangan dan supaya konsultasi kembali ke dokter untuk melakukan tindakan operasi jika memungkinkan.

Akhirnya Bu AI dibuatkan alat ECCT berupa selimut yang bisa dipakai sambil tiduran. Jam pemakaiannya relatif sangat singkat, hanya 15 menit sekali pakai, 2X sehari pagi dan sore. Tetapi ia merasakan seperti berjam-jam di dalam alat selimut. Ia merasakan sangat panas di tubuhnya, hingga keringatnya bercucuran. Beberapa hari kemudian ia merasakan reaksi yang sangat ekstrim, buang air besarnya berwarna hitam dan bau menyengat seperti bangkai, air seninya seperti bercampur lemak berwarna putih-putih, kadang mengandung gumpalan, buang gas berentetan seolah-olah tak berhenti.

Setelah mulai pakai alat ia merasakan sakit di bagian tulang ekor mulai berkurang, kaki yang tadinya mati rasa mulai bisa merasakan nyeri dan kebas, saat pakai alat terasa seperti “nyetrum,” membuat sakit bertambah. 1 bulan pemakaian kondisinya perlahan membaik, tetapi kakinya masih belum bisa dibuat berdiri, ia lebih banyak berbaring di ranjang hingga 6 bulan pertama. Setelah pemakaian 6 bulan sakit di tulang ekor dan kaki relatif sudah hilang, buang air besar sudah normal tanpa bantuan gel. Hasil MRI setelah pemakaian alat 6 bulan menunjukkan massa berkurang secara signifikan, dari ukuran 19 cm menjadi 8 cm. Respon yang sangat cepat dengan ECCT ini hanya mungkin terjadi untuk tipe dengan keganasan sangat tinggi dengan karakter diferensiasi buruk, tipe ini umumnya sel matinya bisa terbuang dengan baik melalui saluran eksresi umum sehingga bisa mengempis relatif cepat.

Massa tumor masih dirasakanannya seperti “bergelayutan” di bagian tulang ekornya. Kemungkinan tumornya sudah lepas dari pelengketan di sekitarnya. Tetapi Bu AI tak melanjutkan dengan melakukan tindakan operasi seperti disarankan oleh konsultan Fismed di awal. Ia memilih untuk meneruskan pakai alat saja.

Pada bulan ke-7 Bu AI sudah bisa lepas kateter yang dipakainya selama 10 bulan, dan untuk pertama kalinya sejak mengalami lunglai di kedua kakinya setelah biopsi ia bisa berdiri dan mulai jalan satu dua langkah dengan dibantu alat. Untuk mempercepat proses pemulihan sarafnya ia melakukan juga fisioterapi, meskipun konsultan Fismed tak menganjurkan fisioterapi selama kanker masih aktif.

Sejak mulai bisa belajar berdiri selama masa pandemi Bu AI hampir tak ada kabar. Baru setelah 2 tahun kemudian setelah pemakaian alat kurang lebih 2.5 tahun Bu AI datang lagi ke C-Care. Kondisinya masih pakai kursi roda, tetapi ia sudah bisa melakukan aktifitas sebagai ibu rumah tangga di rumah seperti memasak. Hanya kakinya belum pulih sempurna. Jalannya masih perlu dibantu tongkat dan lambat. Hasil MRI menunjukkan massa yang masih sisa di ujung tulang ekornya, ukurannya lebih kecil lagi meskipun prosesnya relatif lebih lambat dibanding 6 bulan pertama.

Sudah lama tak bertemu, 5 tahun sejak pertama didiagnosa kanker bertemu Bu AI yang mulai ikut aktif di kegiatan komunitas sosial para penyintas kanker Lavender Indonesia. Jalannya relatif normal, sudah tak pakai kursi roda sudah lama. Perjuangan dan kesabarannya yang luar biasa telah membuahkan hasil. Semoga tetap sehat buat Bu AI (WS).